Hiruk pikuk masyarakat Hindu ketika
hari raya merupakan pemandangan yang biasa di Bali. Sudah merupakan hal biasa
pula, saya mendengar obrolan ibu-ibu tentang besarnya biaya yang habis untuk
membuat sodan atau gebogan hingga sampai berhutang. Hal ini pasti akan
menimbulkan pertanyaan “Apakah Tuhan kita
lapar apabila tidak diberi persembahan? Apakah
harus membuat gebogan sedemikian mahalnya?”
Pernah saya tanyakan hal seperti ini
kepada bapak saya, jawaban yang saya peroleh pun kurang memuaskan. Ya!
Jawabannya nak mule keto (memang
seperti itu) atau sudah menjadi gengsi
ibu-ibu nak!
Apakah harus sampai berhutang untuk
mempertahankan gengsi? Apakah harus beradu gengsi dengan menggunakan kebaya
jutaan rupiah ke Pura? Bukankah hal ini akan mengurangi ketulusan hati dalam
beryadnya?
Bukankah dalam Bhagavad Gita 9.26
Tuhan Yang Maha Esa bersabda:
patraḿ puṣpaḿ phalaḿ toyaḿ
yo me bhaktyā prayacchati
tad ahaḿ bhakty-upahṛtam
aśnāmi prayatātmanaḥ.
“Kalau seseorang mempersembahkan daun, bunga, buah atau air
dengan cinta bhakti, Aku akan menerimanya”.
Dari sloka ini dapat diartikan bahwa
Tuhan tidak pernah meminta persembahan mewah atau mahal sehingga memberatkan
umatnya. Meskipun Beliau mengatakan persembahan patraḿ puṣpaḿ phalaḿ toyam
(daun, bunga, buah atau air), namun yang terpenting dari itu semuanya adalah “bhakty-upahṛtam,
persembahan bhakti atau
ketulusikhlasan dan rasa syukur atas segala kelebihan yang diberikanNya. Jadi
buat apalah kita membuat persembahan mewah dan mahal hingga jutaan
rupiah, tetapi berhutang. Bukankah lebih baik membuat persembahan sederhana
yang dilandasi rasa bhakti yang tulus, yang sudah tentu akan diterima oleh
Tuhan Yang Maha Esa.
0 comments:
Post a Comment